[KBR|Warita Desa] Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang, Samarinda, mulai bergeliat. Para pekerja memilah dan mengatur sampah. Pemulung sibuk di tengah gunungan sampah. Truk sampah lalu lalang bongkar muatan.
Dari kejauhan terlihat asap putih pekat dari sampah yang terbakar. Dari 800 ton sampah yang dihasilkan warga Samarinda, hanya 500 ton yang masuk TPA seluas 10 hektar ini.
Maulana Yudistira, aktivis dari Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) wilayah Kalimantan Timur mengatakan, TPA ini sejatinya sudah tak layak digunakan. Sayangnya Dinas Lingkungan Hidup Samarinda tak punya pilihan lain.
“Sudah banyak laporan-laporan. DLH Samarinda kesulitan mencari tempat pembuangan akhir. Karena sebenarnya TPA Suryanata ini tidak layak digunakan, tapi mereka tidak punya tempat lain,” terang Maulana Yudistira.
Sejak 2011, Yudis bergerilya ke warga dan Pemerintah dengan gerakan mengurangi sampah plastik. Kampanye ini kemudian didukung Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan Peraturan Walikota yang melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.
“Jadi kita mengampanyekan hal-hal yang bisa kita ubah setiap harinya. Misalnya kita bawa tempat minum sendiri, kemudian kita berusaha mengurangi penggunaan kantong kresek dengan membawa tas belanja sendiri, hemat listrik, penggunaan transportasi publik, dan lain segala macam,”imbuh pemuda berkaca mata ini.
Menurutnya, dari hal-hal kecil itu jika dilakukan bersama akan berpengaruh besar pada lingkungan secara keseluruhan. Dari sana juga, Yudis mencoba memperluas kampanye ke bangku sekolah mulai TK sampai bangku kuliah.
Beralih gaya hidup memang tak mudah. Yani, petugas kasir di Senwell Supermarket, mengaku kerap diprotes pembeli karena tak memberi kantong plastik.
“Semua protes sih. Kami hanya jelaskan kalau ada pengurangan plastik Jadi kaya gitu saja kita ngasih tahunya,” tutur Yani.
Tapi ada juga warga seperti Anisa Riskiyani yang justru minta aturan diperluas sampai ke warung-warung. Menurutnya, jika aturan diperluas, maka dampak penggunaan sampah plastik akan sangat berdampak.
“Kalau di Samarinda sih sama saja. Soalnya warung-warung yang kecil tetap masih memperbolehkan memakai kantong plastik. Kecuali kaya yang besar seperti Alfamart dan Indomaret sudah enggak diperbolehkan, kan. Kalau yang kecil-kecil masih,” kata Anisa.
Jadi kita mengampanyekan hal-hal yang bisa kita ubah setiap harinya. Misalnya kita bawa tempat minum sendiri, kemudian kita berusaha mengurangi penggunaan kantong kresek dengan membawa tas belanja sendiri
- Maulana Yudhistira
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda Nurahmani mengakui, saat ini Peraturan Wali Kota yang mengatur penggunaan plastik memang baru menyasar retail modern.
“Karena kita kan mudah memantau. Biasanya kan pencatatannya kan bagus, berapa pengeluaran kantong plastik per bulan. Kami pantau itu… Kalau kami mampu untuk ke arah sana secara tegas atau secara keseluruhan, itu kita mampu mengurangi 1.000 ton (sampah plastik) per tahun,” terang Nurahmani di kantor DLH Samarinda.
Kini Yudis tengah memikirkan solusi bagaimana sampah-sampah yang dihasilkan bisa dikelola dengan baik. Yudis sadar, jalan masih panjang menuju perubahan gaya hidup yang tak tergantung plastik. Setelah Peraturan Wali Kota Samarinda soal pengurangan penggunaan kantong plastik keluar, masih banyak PR menanti.
“Kita harus banyak belajar ke kota-kota yang jauh lebih dulu menerapkan sistem persampahan yang baik. Kemudian dari tumpukan terakhir juga kita belajar bagaimana pengelolaan sampah itu bukan hanya ditumpuk, tapi dikelola agar tidak menimbulkan dampak, kayak asap atau bau yang itu mengganggu pendudukan sekitar,” jelasnya.
Salah satu gerakan Yudis selanjutnya adalah edukasi warga dengan membagikan tumbler kepada petugas kebersihan.
Link audio https://m.kbrprime.id/saga