terdapat kelompok-kelompok difabel yang berdaya ekonomi lemah, miskin jaringan dan minim pengetahuan tentang difabilitas. Fakta ini yang kemudian menjadi sebab penting masih berkembangnya budaya karikatif di sebagian kalangan difabel.
“Solusi terdekatnya yang pertama adalah mengembangkan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas bagi difabel, sebab semua berawal dari ilmu pengetahuan” tutur Ketua Harian Lingkar Sosial Indonesia, Widi Sugiarti.
Selain itu, menawarkan keuntungan material misalnya peluang kerjasama usaha sebagai strategi menjawab sikap pragmatis dan materialistis yang tengah berkembang saat ini di masyarakat. Sekaligus disisipi langkah yang ketiga adalah melakukan sosialisasi undang-undang dan peraturan lainnya terkait difabilitas.
Kemudian langkah yang keempat adalah membangun komitmen lintas organisasi dalam pemberdayaan masyarakat. “Ada kebaikan sekaligus tantangan disini, yaitu peningkatan layanan masyarakat yang memungkinkan orang lebih mudah mengakses bantuan-bantuan sosial, dalam hal ini tantangannya adalah kemudahan tersebut bisa mengikis upaya pemberdayaan itu sendiri,” ungkap Widi.
Maka organisasi harus paham kapan saatnya akses bansos itu perlu, kapan saatnya tidak, agar tidak memupuk ketergantungan masyarakat pada bantuan-bantuan.
“Tidak semua tawaran itu kita terima, baik tawaran pelatihan maupun bantuan sosial,” senada diucapkan Ketua HWDI Malang, yang pula Koordinator Forum Malang Inklusi, Siswinarsih dalam pertemuan pengusaha difabel dan OYPMK di Gondang Legi, Mei lalu. Materi pelatihannya itu-itu saja, peserta pelatihan dari acara ke acara yang orang-orangnya sama, selain tak efektif hal ini juga menebalkan stigma bahwa kita rakus pada bantuan,” ungkapnya.
Pada kesempatan lain, ketika menjadi pemateri dalam pelatihan Advokasi Hak Difabel di Tingkat Desa, bulan lalu di Kecamatan Lawang, Siswinarsih mengatakan pentingnya difabel terlibat dalam proses pembangunan
“Semua benar adalah hak kita, namun dengan terlibat dalam proses pembangunan, dalam hal ini melalui program desa inklusi berarti mendukung sepenuhnya upaya perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak difabel. Bertahap budaya karikatif harus kita kikis, yang efektif berdasarkan pengalaman adalah melalui program desa inklusi, sekaligus sebagai advokasi kebijakan,” lanjutnya.
Memahami Prinsip Pemenuhan Hak Difabel dala Desa Inklusi
Lain ladang lain belalang, lain orang lain paradigma, demikian sekira gambaran sudut pandang warga masyarakat difabel terkait pemenuhan hak.
“Kalau cuman alat bantu saja untuk apa melalui proses penganggaran dana desa, kesuwen!” kata salah seorang orangtua ABK pada suatu kesempatan. Toh, ujung-ujungnya juga permohonan proposal. Sama-sama proposal apa bedanya dengan bantuan sosial? Lebih cepat minta bantu dermawan atau ke instansi tertentu. Di desaku loh, nggak usah lobi-lobi ADD kata Kades sudah dianggarkan tahun 2020 untuk difabel, uenak to,” ungkapnya.
Menurutnya, di desanya tidak memerlukan program desa inklusi, sebab camatnya sudah peduli terhadap difabel. “Lurahnya juga baik hati, kalau posyandu nggak ada beda antara ABK dan anak lainnya,” imbuhnya.
Namun, bagaimana jika terjadi pergantian pemimpin apakah terdapat jaminan bahwa pemimpin penggantinya tetap peduli?
Menanggapi hal ini dalam kesempatan yang berbeda, salah satu Pendiri Forum Malang Inklusi, Hari Kurniawan mengatakan bahwa konsep karikatif memang masih melekat pada sebagian masyarakat.
“Konsep yang dibangun mereka kan masih konsep karikatif atau belas kasihan, bahasa ‘care’ itu masih mengarah kesana,” ungkap Wawa sapaan akrabnya. Pemberdayaan ala mereka masih abstrak, memberikan bantuan sosial adalah sama saja memanjakan bukan memberdayakan, tandasnya.
Menurut Wawa, pengeluaraan anggaran tanpa perencanaan itu namanya fallacy dan ujung-ujung maladministrasi muaranya ke korupsi. “BPK akan sangat ketat mengaudit hal ini,” tuturnya mengingatkan.
Wawa yang pula Pendiri LBH Disabilitas ini juga menekankan pentingnya difabel terlibat dalam musyawarah-musyawarah desa, dengan demikian hak difabel dapat dipenuhi sesuai kebutuhan.