Solider.id, Jakarta- Profesi barista menjadi peluang bagi Tuli untuk membuktikan bagaimana mereka mampu bekerja.
Minimnya akses di lingkup tenaga kerja bagi difabel merupakan kendala umum yang sampai saat ini belum diatasi. Difabel kerap masih dianggap tidak mampu mengerjakan suatu pekerjaan, seperti salah satunya difabel Tuli.
Difabel Tuli dianggap tidak mampu karena hambatan pendengaran mereka. Hal itu bisa kita temui ketika mendapat persyaratan-persyaratan yang mengharuskan calon pelamar benar-benar sehat secara jasmani dan rohani.
Berbagai perusahaan ataupun jenis pekerjaan masih dibalut paradigma soal kemampuan tubuh, bukan pada pemahaman bagaimana sistem kerjalah yang menyesuaikan dengan kebutuhan pekerja Tuli. Mereka belum begitu diterima maupun diakui oleh sistem lingkungan kerja.
Di sisi lain yang masih berkaitan adalah kendala fasilitas yang tidak akses bagi Tuli. Ada beberapa difabel Tuli yang bekerja, namun lingkungan dia bekerja tidak akses bagi mereka yang memiliki hambatan pendengaran.
Sebenarnya, ada berbagai alternatif model bagaimana suatu perusahaan atau pun jenis pekerjaan mempekerjaan Tuli. Seperti model yang digunaka oleh Starbucks, yang memberikan kesempatan bagi Tuli menjadi barista sebagai langkah pertama.
Langkah berikutnya, Starbucks memberikan pelatihan bagi difabel Tuli dalam jangaka pendek ataupun panjang. Pelatihan tersebut untuk memberikan pengalaman, megenalkan konsep kerja, kemandirian dan mampu beradaptasi.
Dilansir dari artikel di portal huffpost, Starbuck menjadi inspirasi karena membuka Kaffe pertamanya di Amerika Serikat yang mempekerjakan Tuli. Kaffe dikonsep penuh menyesuaikan dengan kebutuhan pekerja Tuli. Seperti sistem komunikasi yang menggunakan bahasa isyarat.
Di kedai tersebut terdapat sekitar puluhan tenaga kerja Tuli, seperti Hoh. Di kedai, para pelanggan dilatih melalui melihat isyarat asl dan menulis agar bisa berkomunikasi dengan para barista, baik ketika memesan ataupun untuk berkomunikasi pada umumnya.
Hal tersebut ditunjukkan di sebuah video berdurasi pendek yang diunggah di Twitter. Video tersebut mendapat perhatian dari pengguna sosial media yang merespon positif. Di dalam video menggambarkan seorang pelanggan yang menunggu di depan pintu masuk kaffe yang kemudian disambut dengan sapaan isyarat.
Video juga menunjukkan suasana interior kaffe dengan nyala lampu neon dan tersedia counter matte untuk mengurangi cahaya berlebihan. Huruf tangan ‘Fingerspelling’ mengisyaratkan kosa isyarat "Starbucks" dipasang pada apron barista yang didesain seniman Tuli.
Dari pelayanan komunikasi, khusus dengar terbantu oleh gawai berukuran untuk memilih pesanan. Kaffe yang dikunjungi aktris pemenang Oscar, Marlee Martin ketika hari pembukaannya berlokasi di D.C. di dekat Universitas Gallaudet, sebuah institusi pendidikan terkhusus siswa-siswi Tuli.
Praktik di atas dapat menjadi percontohan bagi dunia usaha yang dapat memberikan peluang bagi difabel Tuli di Indonesia untuk bekerja. Baik dari segi penerimaan ataupun sistem kerja yang menyesuaikan dengan kebutuhan pekerja Tuli
Tertarik untuk artikel tema inklusi lainnya sila kunjungi solider.id
Reporter: Dina Amalia Fahima
Editor: Robandi
Rubrik Berita ini, adalah hasil kerjasama website desa mojowarno dengan jaringan berita KBR68H Jakarta, yang dipublikasikan secara merata di seluruh Indonesai. Sehingga isi dan konten yang ada, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari KBR68H